Kota Asal Pengunjung

Website personal yang berhubungan dengan semangat hidup jiwa remaja, pentang menyerah,cinta tanah air,dan toleransi antar umat.

kota asal pengunjung

Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Kota Asal Pengunjung

Kota Asal Pengunjung :

Jumat, 18 November 2016

TENTANG SEJARAH GOMBONG (KEBUMEN BARAT)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
Dalam rekam sejarah, Gombong pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, Mataram Dieng, Majapahit, Demak Bintara, Pajang hingga Mataram Islam. Pasca perjanjian Giyanti yang memisahkan Mataram menjadi dua: Kasunanan dan Kasultanan, Gombong menjadi tempat kompromi keduanya meski secara de jure menjadi bagian dari Kasunanan Pakualaman.
Islamisasi daerah ini secara runtut diprakarsai oleh Syekh Syamsuddin al-Baqir al-Farsi atau Syekh Subakir pra Demak Bintara, Kanjeng Sunan Kalijaga dalam masa Demak Bintara, Mbah Wagerglagah masa Kerajaan Pajang, lalu dikembangkan secara masif oleh banyak pihak. Tersebutlah Kyai Syafi'i (1829) keturunan dari Panembahan Wagerglagah Kedungwringin, Sempor dan Syekh Abdurrouf Suryanegara keturunan dari Syekh Anom Sidakarsa Petanahan.
Kyai Syafi'i ini yang kemudian menjadi adik ipar Pangeran Diponegoro. Kyai Syafi'i menjadi badal atau pengganti Kyai Mojo sebagai penasehat Sang Pangeran setelah Kyai Mojo tertangkap. Sultan Hamengkubuono II memanggil ayah dari Kyai Syafi'i yang bernama Kyai Syahabudin untuk menuliskan al-Quran. Namun karena usianya yang sudah udzur, maka tugas itu diserahkan kepada Kyai Syafi'i. Sultan Hamengkubuono II sangat senang dengan hasil kerja Kyai Syafi'i kemudian sering berdiskusi soal agama dengan Kyai Syafi'i lantas dinikahkanlah Kyai Syafi'i ini dengan adik dari Pangeran Diponegoro.
Syekh Abdurrouf Suryanegara dalam cerita keluarga, memang tidak tersebut kisah sebagai pasukan dari Sang Pangeran. Meski demikian kisah heroik patriotismenya tetap ada. Syekh Abdurrouf ini adalah buyut dari Syekh Anom Sidakarsa Petanahan. Alkisah waktu itu Syekh Abdurrouf yang bernama asli Suryanegara bergelar tumenggung, bersama Tumenggung Nuryawikrama yang masih tinggal di lingkungan keraton Mataram berdua mengaji ke Demak. Disana keduanya memperoleh pemahaman:
الدنيا ملعونة ملعون ما فيها
"Dunia itu rusak (karena terlaknat), dan seluruh yang ada di dalamnya pun pasti binasa."
Sepulang dari Demak, keduanya menyerahkan gelar bangsawannya kepada Keraton, lalu mengembara. Pertama mengembara ke Ujung Kulon. Tidak terlalu lama kemudian pindah ke Pamijahan. Pun demikian tidak terlalu lama, merasa mendapat isyarat melalui kuwung (pelangi) kemudian mencari ujung dari kuwung itu dan singgahlah keduanya di dukuh Rolah, Sidoharum, Sempor. Disini, Syekh Abdurrouf menetap sedangkan Tumenggung Nuryawikrama melanjutkan kembali ke Mataram.
Rolah, menjadi tlatah perjuangan Syekh Abdurrouf Suryanegara hingga kemudian memiliki seorang putra bernama Muhtarom. Keduanya sebagaimana keturunan dari Wagerglagah yang mendiami Brangkal Kelapagada, selalu menjadi batu sandungan bagi Belanda. Syekh Abdurrouf bersama sang putra, selalu melawan apa yang menjadi kebijakan Belanda. Suatu ketika, terjadilah clash antara Tegalsari, Sidoharum melawan Belanda. Sebelum konflik berdarah terjadi, Syekh Abdurrouf memanggil rekan sejawatnya Tumenggung Nuryawikrama untuk membantu perjuangan.
Gaung bersambut. Ketiganya dengan gagah berani melawan Belanda di sebelah barat pasar Gombong. Dalam cerita itu, ketiganya membikin orang-orangan dari jerami (oman), dan menabur kacang hijau. Yang terjadi kemudian adalah Belanda melepaskan tembakan membati buta ke arah manusia palsu itu, dan ketiganya terutama Sang Putra, Muhtarom dengan sangat berani membunuh satu per satu kawanan tentara Belanda ini. Semakin sedikit saja jumlah tentara Belanda hingga akhirnya hanya tersisa satu yang ngumpet. Satu tentara Belanda ini mampu menembak salah satu kaki dari Tumenggung Nuryawikrama. Hingga kemudian satu tentara ini dibunuh oleh Muhtarom.
Dalam keadaan kaki tertembak dan ancaman pasukan tambahan bantuan dari Belanda, akhirnya ketiganya berlari ke arah barat. Sebelum berlari Tumenggung Nuryawikrama berujar melihat banyaknya tentara Belanda yang mati di daerah itu dengan kalimat: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki sebuten tlatah ruwet." (Krewed). Selain karena saking banyaknya tentara Belanda yang mati di daerah ini, juga karena merasa ruwet karena ia tertembak.
Ketiganya kemudian melarikan diri ke arah barat. Sampai di pertigaan Tumenggung Nuryawikrama mulai pincang karena peluru yang masuk di kaki. Berhenti sejenak kemudian berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Sangkal Putung."
Melanjutkan pelarian diri ke arah selatan, tak berapa lama karwna merasa kesakitan dan lelah, ketiganya berhenti sejenak dan Tumenggung Nuryawikrama duduk bersandar di bawah pohon kembali berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Semende." Semanda.
Merasa belum aman, ketiganya melanjutkan pelarian. Sampai pada sebuah hutan, ketiganya menemukan sungai. Tumenggung Nuryawikrama kembali berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Wanayasa." Wana bermakna hutan dan yasa berarti air/sungai.
Ketiganya melanjutkan perjalanan menyeberang sungai, lalu naik dan menemukan jalan setapak namun banyak anjingnya. Tumenggung Nuryawikrama lagi-lagi berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Margasana." Marga yang bermakna jalan dan sana yang berarti anjing. Hingga hari ini daerah ini masih banyak penduduk yang memelihara anjing.
Terus menjauh dari kejaran tentara Belanda, hingga akhirnya ketiganya berlari naik ke perbukitan dan Tumenggung Nuryawikrama merasa sedih, lalu tetesan air matanya yang jatuh ke tanah dan menghentakkan kakinya ke tanah itu kemudian secara ajaib mengeluarkan sumber air. Kembali Tumenggung Nuryawukrama berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah uki diarani Banyumudal." Banyu adalah air, dan mudal= medal berarti keluar atau menyumber.
Ketiganya terus naik ke atas lalu menemukan jurang di bawah puncak bukit, lalu Tumenggung Nuryawikrama menyuruh sahabatnya Syeikh Abdurrouf Suryanegara bersama Sang Putra untuk kembali ke Tegalsari. Tempat singgah bertapa Tumenggung Nuryawikrama ini kemudian disebut oleh masyarakat dengan sebutan Tugu di perbukitan alas bosok sebelah barat daya Gombong. Hingga hari ini, beberapa orang di daerah Tugu masih meyakini bahwa Tumenggung Nuryawikrama masih hidup dengan nama populer Mbah Nurwis yang kesehariannya mencari rumput dan kayu bakar. Mbah Nuryawikrama ini juga yang berhasil merubah karakter ganas penduduk Petanahan Kebumen, menjadi terbuka dengan ajaran Islam.
ti be ccontinued..

1 komentar: