Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
Seperti kami sampaikan di awal bahwa berdirinya NU tidak seperti
lahir dan berdirinya organisasi lainnya yang membawa ideologi baru.
Hampir keseluruhan ideologi baik berbasis agama maupun non-agama yang
ada di Indonesia adalah produk impor semua. Persis, Muhammadiyah, Salafi
Wahabi, HTI, Kapitalis Liberal hingga Komunis adalah ideologi yang
dibawa dari luar sana. Perdebatan yang terjadi pada sidang BPUPKI dan
PPKI adalah perdebatan dua kubu yang sama-sama ingin menerapkan ideologi luar untuk dipaksakan di Indonesia, sebelum akhirnya diselesaikan secara brilian oleh Soekarno.
Soekarno meskipun produk luar negeri mengingat kuliah di beberapa
negara Eropa (seperti Belanda yang Kapitalis Liberal dan Soviet yang
komunis), tetap tidak kehilangan karakter ke-Indonesia-annya. Hatta-pun
sekali tiga uang, meskipun beliau adalah murid dari Adam Smith, Bapak
Ilmu Ekonomi - kapitalis itu, tetap tidak kehilangan karakter
Nusantara-nya. Lebih jauh dari semua itu, meski berbeda segmen,
Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari yang bertahun-tahun menimba ilmu di
Makkah-Madinah, juga seluruh inisiator dan pendiri NU, tidak pernah
gagap mode. Ulama kita tetap berdiri di garda terdepan untuk menjaga apa
yang sudah menjadi warisan dari para pendahulu.
Unsur protektif
yang lebih utama ini bukan tanpa sebab, Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan
ulama kita dulu adalah produk gemblengan lingkup "bahtsu masail"
ulama-ulama Indonesia yang terkenal mendapatkan tempat yang istimewa di
Masjidil Haram semenjak Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi (1815-1897)
menjadi ulama yang diakui keilmuannya. Semenjak itu, selain untuk
transfer keilmuan, lingkup diskusi ini juga yang menjadi sarana untuk
melawan kolonialisme. Dari sini, berbicara NU di Gombong, tidak bisa
dipisahkan dari patriotisme pesantren.
Jumat, 18 November 2016
Home »
» Lanjutan coretan Susur NU Gombong (Kebumen Barat)
0 komentar:
Posting Komentar