This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kota Asal Pengunjung

Website personal yang berhubungan dengan semangat hidup jiwa remaja, pentang menyerah,cinta tanah air,dan toleransi antar umat.

kota asal pengunjung

Entri Populer

Total Tayangan Halaman

Kota Asal Pengunjung

Kota Asal Pengunjung :

Jumat, 18 November 2016

KEUNIKAN SANTRI SALAF

  Anda Pernah nyantri atau mondok di pesantren salaf ?
Berbahagialah... !!!"
Karna ada keunikan yang jarang ditemukan kecuali di pesantren salaf. Bagi anda yang pernah nyantri atau mondok pasti sedikit banyak telah merasakan yang namanya kesenangan dalam kebersamaan serta kesederhanaan dan lain lain. Jika bagi para pembaca yang kebetulan belum pernah merasakan yang namanya nhantri atau mondok di pesantren salaf pasti penasan dengan keunikan tetang santri salaf. 
Mau tahu apa saja fakta-fakta menarik seputar santri dan dunia pesantren salaf ?
Berikut adalah 11 ulasan keunikannya :
 
   1. Para santri ngetel(masak) sendiri
Masak sendiri merupakan salah satu hal yang mendewasakan dalam dunia pesantren.
Tempo dulu, ketika belum ada kompor, santri masak memakai kayu bakar.Ketika musim hujan tiba, tak jarang banyak hanger atau sandal jepit yang dibakar sebagai ganti kayu bakar .
Namun, sekarang jarang santri yang masak sendiri, seiring dengan perkembangan jaman. Jika mencari santri memasak di dapur, silakan cari pondok yang masih salaf.
 
 
   2. Makan se-lengser bersama
Inilah yang membuat apapun makanannya akan enak terasa. Santri yang memasak, ketika sudah siap saji, makanan ditiriskan di lengser atau daun pisang. Kemudian dimakan secara bersama-sama oleh 5 - 10 orang. Meski nasi dan sayur masih panas, para santri tak peduli untukmelahapnya.
Soal tangan gosong atau lidah terbakar, itu soal nanti. Masalahnya, kalau tidak berani ambil resiko itu, dijamin tidak kenyang karena kalah dengan yang lain.
  3. Antri mandi
Apabila sebuah Pesantren yang jumlah santrinya ribuan, ketika pagi dan sore hari akan ada pemandangan menarik di kamar mandi atau kali (sungai). Satu kamar mandi, bisa antre tiga orang. Jika tak sabar, yang ngantri akan menggedor-gedor pintu.
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya buang hajat dengan pintu digedor-gedor.
Berbeda dengan kamar mandi, kalau mandi di sungai antrinya petelesan celana untuk santri putra. Sungguh menggelikan.
     4. Terserang penyakit kulit
Penyakit kulit atau kudis, akrab bagi santri baru.
Hal ini seakan menjadi "ujian" pertama bagi santri; apakah nantinya ia akan betah tinggal di pesantren atau tidak. Saking parahnya, santri yang terkena penyakit ini kadang sampai tak bisa duduk atau sulit jalan. Mau dibawa ke rumah sakit, dokter, tak jua sembuh-sembuh. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya, hingga badan kebal dan penyakit merasa bosan sendiri.Namun, itu dulu. Pesantren sekarang sudah banyak memiliki air bersih dan fasilitas yang memadahi.
 
   5. Tidur di lantai berbantal pakaian kotor
Dulu tak ada ceritanya santri tidur di kasur. Tidurnya cukup merebahkan badan di lantai kamar, depan kamar atau serambi masjid. Untuk bantal, pakaian kotor dikumpulkan lalu dibungkus dengan sarung. Hal itu sudah lebih dari cukup menghilangkan kantuk karena kesibukan ngaji pagi, siang sampai malam.
     6. Berebut I.N (jajan)
Sudah menjadi tradisi, ketika ada santri baru atau menerima wesel atau sehabis pulang selalu membawa aneka jajanan. Ketika sisantri datang diantar orang-tua, seluruh anggota kamar akan bersikap dewasa dan melayani tamu dengan penuh penghormatan, seperti anjuran baginda nabi.Namun sejurus kemudian, ketika para tamu orang tua atau wali santri itu pulang, akan segera terjadi kegaduhan: berebut jajanan. Ini suatu tradisi yang lazim terjadi di pesantren-pesantren salaf, meski latar belakang santri adalah seorang yang mampu.
Berebut I.N. atau jajanan ini menjadi suatu hal yang menarik dan menyenangkan.
     
      7. Dikejar setoran
Setoran disini bukanlah setoran yang lazim terjadi antara sopir angkot dengan juragannya, namunsetoran hafalan nadzaman dan syair-syair kitab.
Biasanya, seminggu sekali para santri setoran hafalan tersebut kepada sang ustadz. Jika tidak memenuhi target, si santri akan dita'zir dan lebih ekstrem lagi tak bisa naik kelas.
     8. Mayoran (masak2 bersama )
Istilah mayoran dewasa ini jarang terdengar. Ini adalah manifestasi kekompakan atau rasa syukur santri setelah mengkhatamkan kitab. Biasanya, ada pengurus kelas yang menariki iuran lalu dibelikan daging.
Daging, merupakan barang mewah bagi santri yang dengan kultur pesantren salaf rata-rata menyuruh untuk hidup senderhana, riyadlah dan tirakat.
Namun, sepertinya tradisi mayoran ini sekarang lekang oleh waktu karena makanan mewah sudah ada dimana-mana.
   9. Ta'zir (hukuman)
Pesantren dimanapun memiliki peraturan. Jika ada santri yang melanggar, ia akan dihukum sesuai bobot pelanggarannya. Ada yang diceburkan ke kolam atau sunga, dicukur gundul atau dipajang di depan pesantren dengan mengalungkan papan bertuliskan kesalahannya. Ketika terjadita'ziranini, biasanya semua santri menonton dan menyoraki.
Ini pelajaran sekaligus tes mental dan melatih tanggung jawab.
10. Berebut mencium tangan kiai
Pesantren salaf mengajarkan santri untuk memuliakan ilmu dan ahlinya. Salah satu bentuk memuliakan tersebut adalah bersalaman dan mencium tangan kiai. Ini terjadi di semua pesantren-pesantren salaf,
Selain itu, bersalaman dan mencium tangan kiai adalah sebuah upaya ngalap berkah agar mendapat ridla dari sang kiai.
     11. Tirakat
Terakhir dalam tulisan ini, adalah tirakat. Para santri biasanya meminta ijazah kepada kiai akan amalan-amalan tertentu seperti: ngrowot (tidak makan nasi), puasa, shalat jamaah,manaqib,mujahadah, dalalil dll.
Amalan tersebut merupakan metode salafiyyah yang menjadi perekat masuknya ilmu ke hati. Jadi, jangan heran kalau ada santri yang makannya nasi aking (oyek, thiwul) karena itu ia sedang menjalankan misi spiritual. Bahkan, di pesantren tertentu, banyak santri yang mengamalkan ilmu kanuragan sehingga tak mempan bacok.
     Demikianlah 11 fakta menarik tentang santri di pesantren salaf. Mungkin dan pasti bagi pembaca yang pernah nyantri, masih ada ke unikan yang lain selain sebelas yang saya sebutkan.
Semoga, ke depan para santri terus dapat berkiprah membangun masyarakat, negara dan bangsa. #AMIIN
 
 
 

KEUNIKAN BUDAYA JAWA

Keunikan Budaya Jawa

Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

Dalam kebudayaan Jawa terdapat Tridarma (tri: tiga dan darma: pengabdian) yaitu filosofi sikap yang pernah dicanangkan oleh Mangkunegara I (Said) untuk dipegang setiap warganegara maupun pemimpin apabila ingin wilayahnya makmur. Motto ini populer di kalangan warga Kota Surakarta dan menjadi pegangan pemerintahan Praja Mangkunegaran hingga sekarang.
Secara lengkap Tridarma berbunyi
Rumangsa mèlu handarbèni ("merasa ikut memiliki")
Wajib mèlu hanggondhèli (("berkewajiban ikut membela/mempertahankan")
Mulat sarira hangrasa wani ("berani berintrospeksi/mawas diri")
Pada awalnya, motto ini dipakai oleh Said untuk membina kesatuan gerakan pemberontakan yang dipimpinnya. Setelah ia menjadi Mangkunagara I Tridarma diterapkannya pula kepada warganya.
Baris terakhir Tridarma sekarang dipakai sebagai motto Kota Surakarta. Soeharto, presiden kedua Indonesia, diketahui juga berusaha mempraktekkan petuah ini meskipun dianggap tidak berhasil.
SAFE OUR CULTUR!!!!!
sumber : http://www.pulsk.com/292029/Inilah-keunikan-budaya-jawa.html/

KEUNIKAN JAWA

FILOSOFI JAWA
Filosofi bilangan dalam jawa. Dalam bahasa Indonesia :21 Dua Puluh Satu,22 Dua Puluh Dua,...s/d29 Dua Puluh Sembilan.Dalam bhs Jawa tidak diberi nama Rongpuluh Siji,Rongpuluh Loro, dst; melainkanSelikur, Rolikur,...s/d Songo Likur.Di sini terdapat satuan LIKURYang merupakan kependekan dari (LIngguh KURsi), artinya duduk di kursi.Pada usia 21-29 itulah pada umumnya manusia mendapatkan “TEMPAT DUDUKNYA”, pekerjaannya, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya;Ada penyimpangan pada bilangan 25, tidak disebut sebagai LIMANG LIKUR, melainkan SELAWE.SELAWE = (SEneng-senengeLAnang lan WEdok).Puncak asmaranya laki-laki dan perempuan, yangditandai oleh pernikahan.Maka pada usia tersebut pada umumnya orang menikah (dadi manten).Ada penyimpangan lagi nanti pada bilangan 50.Setelah Sepuluh, Rongpuluh,Telung Puluh, Patang puluh,mestinya Limang Puluh.Tapi 50 diucapkan menjadi SEKET.SEKET (SEneng KEthonan : suka memakai Kethu/tutup kepala topi/kopiah). Tanda Usia semakin lanjut, tutup kepala bisa utk menutup botak atau rambut yg memutih karena semirnya habis...Di sisi lain bisa juga Kopiah atau tutup kepala melambangkan orang yang seharusnya sdh lebih taat beribadah...!Pada usia 50 th mestinya seseorang seharusnya lebih memperbanyak ibadahnya dan lebih berbagi untuk bekal memasuki kehidupan akherat yg kekal dan abadi...!.Dan kemudian masih ada satu bilangan lagi, yaitu 60, yang namanya menyimpang dari pola, bukan Enem Puluh melainkan SEWIDAK atau SUWIDAK.SEWIDAK (SEjatine WIs wayahe tinDAK).Artinya : sesungguhnya sudah saatnya pergi. Sudah matang...Hrs sdh siap dipanggil menghadap Tuhan..Semoga bermanfaat smoga tetap sehat semangat walau meh SWIDAK*yg merasa sewidak punjuL tidak boleh complain.... sambiL nutup kamus bahasa jawa.....yang gak bs bahasa jawa jangan nangis....#--ELING lan WASPODO--#
Sumber : https://www.facebook.com/groups/858194580973534/?fref=ts

PELAN-PELAN YAAA..

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
 NU berperan sebagai kendali dalam konstelasi ideologi keislaman yang valid, otentik dan original dari sumbernya. Silsilah atau ketersambungan dan kesinambungan hubungan guru-murid sebagai kesadaran akan penting dan kemuliaan ilmu agama. Hingga hari ini, tradisi tranfer ilmu yang kalangan pesantren menyebutnya ijazah, masih dilestarikan oleh beberapa pesantren semisal Tebuireng. Di pesantren ini dari dulu hingga kini selama bulan Ramadlan, seusai mengkhatamkan kitab Sahih al-Bukhari dan Sohih Muslim selalu dibarengi dengan "ijab qabul" untuk keabsahan murid mendapatkan silsilah hadis-hadis dalam Dua Sahih itu sampai ke Imam Muslim dan Imam al-Bukhari. Ulama NU sadar benar bahwa jika transfers ijazah ini dihentikan, nantinya akan ada pengaburan sejarah seperti yang dilakukan oleh Nasirudin al-Bani sebagai peneliti hadis yang menjadi idola kelompok Wahabi.
Bukan hanya silsilah dalam transfer ideologi melalui sanad hadis yang menjadi jaminan otentik keterjagaan ajaran agama dari Nabi saw, hingga kepada seluruh santri Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari, Kakek dari Gus Dur ini juga mewarisi silsilah manhaj fiqh dari Imam as-Syafii berikut gurunya hingga Nabi Muhammad saw. Dari dua hal ini saja sudah bisa kita petakan bahwa otentisitas ajaran Islam itu nyata milik ulama-ulama Indonesia. Tafsir dan ilmu Tafsir, itu akan selalu bergantung pada kedua disiplin yang dimiliki oleh ulama-ulama NU.
NU yang tumbuh dari kalangan pesantren, tentu saja mewarisi tradisi pesantren baik dalam posisinya sebagai penjaga agama, maupun dalam posisinya sebagai bagian dari bangsa. Satu-satunya elemen bangsa ini yang tidak pernah terjajah adalah pesantren. Bahkan di banyak tempat, pesantren justru menjadi lawan sebenarnya dari kolonialisme. Pesantren selalu meneriakkan perang terhadap Belanda dan penjajah lain meski dalam skala yang kecil mengingat perjuangan melawan kolonialisme itu belum dilakukan serempak. Pesantren selalu berdiri tegak di atas kaki sendiri meski disaat yang sama Belanda mulai membangun sekolah sebagai musuh dari sistem pendidikan ala pesantren. Selain monopoli ekonomi, melihat perusakan yang dilakukan pada sistem sosial dan karakter asli manusia Nusantara yang berjiwa gotong royong dan komunal yang dilakukan Belanda, kalangan pesantren dengan berani menghukumi bukan cuma Belanda yang kafir tetapi juga yang dekat dengan kompeni juga dihukumi kafir.
من تشبه بقوم فهو منهم
"Siapa yeng meniru suatu kaum, ia adalah bagian dari mereka."
Seiring berjalannya waktu, pesantren tak pernah surut semangat apalagi merintih. Pesantren malah justru menjadi garda terdepan melawan kolonialisme sejak peristiwa Perang Diponegoro tahun 1825-1830 M hingga Resolusi Jihad yang sangat kurang ajar diperkenalkan oleh pemerintah yang lalu sebagai peristiwa 10 November 1945 tanpa secuilpun mengungkap sejarah perjuangan ulama dan santri NU.
Inilah wajah cantik yang dimiliki oleh NU. Antara agama dan nasionalisme ditempatkan sebagai dua hal yang tidak bertentangan. Bahkan NU turut andil dalam pembentukan dua hal yang sangat penting bagi Indonesia sebagai sebuah negara. Pertama asas negara: Pancasila yang pada hakikatnya adalah "Perjanjian Madinah jilid II". Kedua adalah Tentara Republik Indonesia (kini TNI) yang berembrio pada Laskar Hizbullah dan Laskar Fi Sabilillah yang dibikin oleh KH. Abdul Wahid Hasyim. Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari memberikan pengertian bahwa agama dan nasionalisme itu tidak bertentangan. Keduanya justru bagaikan kedua sisi mata uang. Quraish Shihab berkesan: dulu Nabi ketika hendak meninggalkan Mekah untuk hijrah ke Madinah, Nabi menangis seraya berkata kepada bumi Mekah: "wahai bumiku, aku sungguh mencintaimu. Seandainya kaummu tidak mengusirku, tidak mungkin aku mau meninggalkanmu." Kemudian, pada tahun kedelapan Hijriah, saat Nabi dan para sahabatnya berhasil menaklukkan kota Mekah, Nabi menangis di atas kudanya ketika memasuki gerbang kota. Inilah yang menjadikan NU sangat berbeda dengan ormas Islam lain. NU membuat negara ini berbeda dari negara Islam manapun yang ternyata selalu saja dilanda perang tak pernah selesai.
to be continued...

Sejarah kopi yang ditulis santri Keduanya sama sepakat bahwa ngopi mengandung unsur ibadah

SYAIKH ABUL HASAN AS-SYADZILI DAN RACIKAN KOPI DARI MIMPI

Suatu ketika Syaikh Abul Hasan mendatangi kediaman gurunya, Syaikh Abdullah Al-Masyisyi, di puncak suatu bukit untuk keperluan meminta ijazah doa untuk diwiridkan. Akan tetapi, oleh sang guru yang juga seorang wali yang keramat itu justru diperintahkan untuk menemui sahabat beliau, yang juga seorang wali yang keramat di Desa Syadzil.
Mendapat perintah itu, Syaikh Abul Hasan segera pamitan dari gurunya. Pada awalnya ia bermaksud untuk langsung pergi ke desa yang membutuhkan waktu satu bulan perjalanan kaki tersebut pada hari itu juga. Akan tetapi, karena ada perhitungan lain, akhirnya ia pergi pada keesokan harinya. Hal ini rupanya sudah diketahui oleh gurunya di Syadzil. Keesokan harinya, sampailah ia di Syadzil. Jarak satu bulan perjalanan, dengan karomahnya, ia tempuh tak lebih dari beberapa jam.

"Hai Abul Hasan, sebenarnya sudah sejak kemarin saya tunggu kamu datang," demikian sang syaikh membuka penjelasan, "wirid yang kamu inginkan itu cara mengamalkannya cukup berat, tetapi saya selalu sesuaikan dengan keadaan orang yang akan mengamalkannya. Kamu saya anggap cukup kuat, oleh karenanya, kamu saya buatkan syarat, amalkan wirid ini selama 40 malam berturut-turut tanpa batal wudlu. Dan kamu akan saya berikan kenang-kenangan. Namamu akan saya tambah dengan nama negeri ini menjadi ' Abul Hasan Asy-Syadzili '."
Syaikh Abul Hasan menerima anugerah dari gurunya yang karomah itu -- dalam buku sumber tulisan ini tidak disebutkan namanya -- dan langsung mohon diri.
Sewaktu ia mengamalkan wirid itu, ia merasa lain dari biasanya. Wirid yang diijazahkan gurunya itu ternyata sangat berat diamalkan, tidak seperti mewiridkan doa-doa yang lain. Kadang-kadang pada malam terakhir ia tak tahan ngantuk lalu tertidur, dan karenanya ia harus memulainya lagi dari malam pertama. Begitu berulang-ulang. Akhirnya ia melaksanakan salat hajat mohon kepada Allah supaya bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad saw. Doanya makbul, mimpinya didatangi Rasulullah.
"Wahai Rasulullah, saya diberi wirid oleh guru saya, tetapi sampai sekarang saya belum bisa menyelesaikan cara pengamalannya. Saya mohon petunjuk," demikian katanya di dalam mimpi kepada Baginda Nabi saw.
"Hai Abul Hasan, ini saya bawakan biji-bijian yang banyak terdapat di tempatmu, tetapi orang-orang belum tahu kegunaannya. Biji ini jemurlah, goreng kering-kering sampai menjadi arang, kemudian tumbuklah sampai lembut, dan sesudah itu baru kau seduh dengan air mendidih. Air itulah yang kamu minum setiap malam, insya Allah kamu tidak akan mengantuk."
Esoknya tahulah ia bahwa biji yang ditunjukkan Baginda Nabi saw dalam mimpinya itu adalah biji kopi. Dia melaksanakan petunjuk Baginda Nabi saw hingga akhirnya menjadi orang pertama yang tahu gunanya biji kopi, yakni supaya kuat berjaga malam demi beribadah kepada Allah. Tapi dasar orang yang memiliki karomah, setelah mengambil biji kopi banyak-banyak, ia gorenglah biji-biji itu sampai kering. Api dinyalakan di bawah lutut, dan yang menjadi tungkunya adalah kedua lutut dan perutnya itu. Tangan kanannya untuk menggoyang biji kopi supaya pembakarannya rata, sedangkan tangan kirinya menjadi kipasnya. Sekalipun biji kopinya sudah menjadi arang, ia tidak merasa panas. Dan anehnya, pakaiannya sehelai pun di antara benangnya tidak terbakar, tidak pula kotor.
Sejak saat itu ia bisa menahan wudlunya sampai 40 malam tanpa batal. Oleh karena itu, pantaslah bila kebiasaan orang-orang dahulu ketika hendak meminum kopi, mengirimkan pahala fatihah kepada Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili.
Sumber buku : "Kisah-kisah Kemunculan Khidir Membimbing Ruhani Para Waliyullah", diterbitkan Penerbit Pustaka Pesantren.

NDANDANI AWAK (Memperbaiki Diri)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
Bersikaplah yang Manusiawi
Sikap adalah penetapan satu atas beragam kemungkinan yang bisa dilakukan. Artinya, manusia sebebas apapun dia mendapatkan beragam pilihan, ketika dia berhenti pada salah satu-nya maka disitu bisa dikatakan dia sudah menentukan sikap.
Manusiawi secara bahasa adalah sesuatu yang wajar dilakukan manusia. Entah baikkah dia atau burukkah selama masih dalam kodrat atau wilayahnya sebagai manusia. Manusiawi juga bisa dimaknai bahwa sesuatu yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Lebih mudahnya dimaknai dengan: memanusiakan manusia. Pengertian yang pertama adalah kata benda sedang yang kedua adalah kata kerja.
Pagi tadi kami dikejutkan dengan postingan Sedulur kita Hari Haha yang memposting tulisan pendek yang merupakan sikap reflektifnya setelah menempuh bulan Ramadhan. Saking mengagetkannya tulisan itu hingga menimbulkan respon yang sama mengejutkannya meski dalam tataran pembaca itu lumrah terjadi karena memang kalimat yang digunakan Sedulur kita itu sangat-sangat bebas.
Pertama: saya "gus nopy" sebagai yang dituakan dalam grup JNA kaget dengan kenekadan Sedulur Hari Haha memposting status pendeknya. Namun, karena saya juga tidak sepenuhnya melarang siapapun untuk berfikir, bersikap dan bertindak apapun jika dilakukan dengan bertanggung jawab maka saya secara pribadi mempersilahkan, dan kalau waktunya tepat, siap untuk berdiskusi.
Kedua, saya sangat menghormati dan mengapresiasi setulusnya seluhurnya kepada seluruh Sedulur yang memberikan respon -yang hampir semuanya terkejut dan sebagian besar merasa kesal- sebagai bentuk kepedulian dan kontrol moral Sedulur semua terhadap grup JNA.
Dua "kubu" yang berseberangan maka saya harus berdiri di tengah agar terjadi diskusi untuk mencari kebaikan. Hanya mencari kebaikan. Bukan mencari keburukan, sekali lagi bukan mencari keburukan.
Dari sini saya ingin berkata kepada seluruh Sedulurku di JNA bahwa, seburuk apapun orang bersikap kepada Anda, maka biarkan saja.!! Dia berhak berbuat buruk sebagaimana Anda berhak mendapatkan kebaikan.
Ketika Anda tak mampu menerima "keburukan" orang lain, maka kebaikan yang akan Anda berikan tidak akan sempurna.
Ketika Anda tidak mampu menerima "keburukan" orang lain, maka Anda-pun akan sangat susah menerima keburukan Anda sendiri.
Ketika Anda tidak mampu menerima kebaikan, maka Anda kafir.!! Termasuk kebaikan yang terbungkus oleh keburukan.
Bersikaplah santai.. aja gugupan.. keton giblik-e.!!
Sedulur Hari Haha ahanggap saja sebagai manusia paling galau sedunia. Yang tak tahu harus seperti apa agar mampu menjadi pusat perhatian.!!
Lihat saja tingkahnya seperti kita melihat gelaran ketoprak atau sinetron alay..!!
Penonton yang baik dan sabar ora gugupan tentu emosinya tidak akan terbawa oleh Tokoh Alay Galau-nya itu. Bahkan bisa-bisa saja penonton justru akan menertawakan penokohan dari Tokoh Alay Galau ini.!!
Yang sering terbawa oleh diksi atau penokohan dari sinetron alay ya siapa lagi kalau bukan alay juga.? Hahaha...
Santai lah Bro..
Kita jangan marah dulu..
biarkan Tokoh Alay Galau itu selesaikan peranannya dulu.!!
Kalau bisa jawab, ya jawab saja
Kalau enggak, ya kita tertawakan saja anak alay itu..
:)
Santai ya semuanya..
Disini semuanya belajar.. tidak ada selain belajar
Didandani Awake dhewek sit.. aja ngukur awak liya.!!

Lanjutan coretan Susur NU Gombong (Kebumen Barat)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
 Kebumen, berikut di dalamnya Gombong, adalah daerah yang berhasil di"babat-alas" oleh Syekh Syamsuddin al-Baqir al-Farsi (Syekh Subakir) dan dengan sangat brilian dilanjutkan secara massive islamisasi daerah ini oleh Sunan Kalijaga. Faktor penentu keberhasilan Sunan Kalijaga mengislamkan daerah ini karena sikapnya yang sangat terbuka dan toleran terhadap budaya yang dimiliki masyarakat ketika itu. Ada prinsip kaidah fiqh yang sangat kuat dipegang oleh Kanjeng Sunan, mulai dari:
~ الضرر يزال
"Sesuatu yang beresiko, dihindari"
~ اذا ضاق الامر اتسع و اذا ضاق اتسع
"Ketika suatu perkara menjadi sempit (sulit), maka boleh mencari kemudahan. Ketika perkara itu sangat leluasa, maka carilah kepastian."
~ درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Mencegah bahaya didahulukan ketimbang mencari kebaikan."
Beberapa prinsip fiqh waqi'iyyah (realistis) ini sangat piawai diterapkan oleh Sunan Kalijaga sehingga terkesan sinkretis dalam ajarannya. Sunan Kalijaga menggunakan media wayang, seni ukir lukis, gamelan, seni suara suluk, baju taqwa, sekatenan, grebeg mulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Dadi Raja adalah media dakwah yang digunakan Kanjeng Sunan untuk mengenalkan ajaran Islam. Sebagaimana dikatakan olah KH Afifudin Muhajir bahwa Kanjeng Sunan sangat toleran pada budaya lokal. Masyarakat akan menjauh jika budaya mereka diserang. Maka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Jika Islam sudah diketahui, maka dengan sendirinya keyakinan yang tidak sesuai dengan Islam akan menyingkir dengan sendirinya. Ternyata jalan atau metode dakwah yang demikian terbukti ampuh untuk mengislamkan daerah ini. Satu hal yang membedakan Kanjeng Sunan dengan wali lainnya nir Sunan Kudus yang satu metode dengan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Agus Sunyoto menyebutkan bahwa seringkali Kanjeng Sunan menampilkan pagelaran wayang kulit hingga pelosok Jawa Tengah bagian tengah dan selatan. Tidak pernah meminta upah atas pagelaran wayang kulit yang diselenggarakan, yang terpenting diizinkan untuk melakukan pagelaran wayang kulit itu. Dari sini kemudian, Kanjeng Sunan banyak mendapatkan murid dari berbagai penjuru Jawa Tengah terutama bagian tengah-selatan. Hampir seluruh ulama daerah ini berguru kepada Kanjeng Sunan di Demak. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang juga belajar mengaji ke Demak.
Sepengetahuan penulis, Tumenggung Suryanegara yang bermakam di dukuh Rolah desa Sidoharum, Sempor menurut beberapa kyai yang menjadi keturunannya juga belajar agama atau mengaji ke Demak. Tumenggung Suryanegara yang bernama Islam Abdurrouf ini kyai salah satu mursyid tarekat Syathoriyyah yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro dengan asumsi jumlah keturunan sampai ke enam untuk keturunannya yang hari ini sudah mempunyai cucu dan asumsi jarak usia ayah-anak sekira 20-25 tahun.
to be continued..

MASIH TENTANG SEJARAH GOMBONG (KEBUMEN BARAT)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
 Dalam rentang sejarah seperti yang telah dipaparkan terlihat bahwa Gombong bukan hanya dilewati, tetapi menjadi garapan islamisasi oleh Syekh Subakir berlanjut ke Kanjeng Sunan Kalijaga kemudian semaian keduanya dijaga oleh Tumenggung Suryanegara atau Syekh Abdurrouf. Tentu rangkaian atau perpindahan dari Syekh Subakir kepada Kanjeng Sunan Kalijaga ini tidak dalam satu masa hidup, apalagi hingga peralihan ke Syekh Abdurrouf. Dalam silsilah yang dimiliki beberapa kyai keturunan Syekh Abdurrouf seperti KH Hasan Maskur Al Aziz Gandusari, Kuwarasan nampak bahwa Syekh Abdurrouf merupakan buyut dari Syekh Anom Sidakarsa Petanahan yang berlanjut hingga Arya Penangsang dan seterusnya di kerajaan Demak Bintara.
Syekh Abdurrouf memiliki putra tunggal bernama Muhtarom yang karena keberaniannya terutama dalam melawan Belanda hingga mendapat julukan (laqob) "Singadilaga" yang kemudian digandengkan dengan nama asalnya menjadi Muhtarom Singadilaga. Tokoh terakhir yang disebut terakhir inilah yang babat alas lalu kemudia membikin dukuh Tegalsari dan mendirikan masjid disana. Asal mula kata Tegalsari karena itulah kegemaran Muhtarom Singadilaga setelah membangun masjid. Di sebelah barat masjid itu, Muhtarom senang membuat gundukan tanah memanjang (tegal) untung menanam segala sesuatu yang bermanfaat (sari) untuk dikonsumsi sehari-hari.
Kenapa kemudian kami menghadirkan beberapa tokoh ini, karena beberapa tokoh inilah yang memiliki silsilah mursyid (guru spiritual) dalam tarekat Syathariyyah yang diamalkan dan dijalani oleh Pangeran Diponegoro. Sejauh ini kami masih mencari informasi tentang jaringan kyai masa itu yang menetap di Tegalsari, Sidoharum dengan wilayah lain sekitar Gombong. Misalnya dengan Masjid Sakatunggal Pekuncen yang merupakan peninggalan seorang Adipati. Adipati adalah gelar pangkat pemerintahan setingkat gubernur, sedangkan tumenggung setara dengan bupati. Lalu kaitannya dengan Kyai Radikal Mbah Siraj Brangkal, Kelapagada. Bagaimana dan apa kaitannya dengan Tegalsari mengingat Mbah Siraj itu tahun 1920 masih hidup, sedangkan Syekh Abdurrouf Suryanegara dan putranya Syekh Muhtarom Singadilaga sezaman dengan Pangeran Diponegoro.
to be continued...

JNA (JAM'IYAH NDANDANI AWAK)

Silaturahmi di tempat Sedulur Nofiansaid Dahlan Kakau kemarin merupakan sekaligus pembukaan kembali rutinitas JNA.
Ayo.. mulai ditata mening niate. JNA menyediakan makanan jasmani berikut ruhani setiap pertemuannya. Surut semangat itu wajar, yang kurang ajar untuk kita adalah jika hilang semangat.
Malam Rabu besok, kita memulai JNA di masjid P. Diponegoro Brangkal, Klapagada. Napak tilas perjuangan Ndandani Awak untuk merdeka, berdaulat, berdiri di kaki sendiri. Semangat Ndandani Awak Pangeran Diponegoro1825-1830 harus nyetrum pada diri kita semua, bahwa merdekanya diri kita tergantung pada diri kita sendiri.
Siapkan diri kita semua Sedulur,, Pangeran Diponegoro menunggu kita sowan ke Brangkal.!!

Lanjutan coretan Susur NU Gombong (Kebumen Barat)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
 Seperti kami sampaikan di awal bahwa berdirinya NU tidak seperti lahir dan berdirinya organisasi lainnya yang membawa ideologi baru. Hampir keseluruhan ideologi baik berbasis agama maupun non-agama yang ada di Indonesia adalah produk impor semua. Persis, Muhammadiyah, Salafi Wahabi, HTI, Kapitalis Liberal hingga Komunis adalah ideologi yang dibawa dari luar sana. Perdebatan yang terjadi pada sidang BPUPKI dan PPKI adalah perdebatan dua kubu yang sama-sama ingin menerapkan ideologi luar untuk dipaksakan di Indonesia, sebelum akhirnya diselesaikan secara brilian oleh Soekarno.
Soekarno meskipun produk luar negeri mengingat kuliah di beberapa negara Eropa (seperti Belanda yang Kapitalis Liberal dan Soviet yang komunis), tetap tidak kehilangan karakter ke-Indonesia-annya. Hatta-pun sekali tiga uang, meskipun beliau adalah murid dari Adam Smith, Bapak Ilmu Ekonomi - kapitalis itu, tetap tidak kehilangan karakter Nusantara-nya. Lebih jauh dari semua itu, meski berbeda segmen, Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari yang bertahun-tahun menimba ilmu di Makkah-Madinah, juga seluruh inisiator dan pendiri NU, tidak pernah gagap mode. Ulama kita tetap berdiri di garda terdepan untuk menjaga apa yang sudah menjadi warisan dari para pendahulu.
Unsur protektif yang lebih utama ini bukan tanpa sebab, Mbah Hasyim, Mbah Wahab dan ulama kita dulu adalah produk gemblengan lingkup "bahtsu masail" ulama-ulama Indonesia yang terkenal mendapatkan tempat yang istimewa di Masjidil Haram semenjak Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi (1815-1897) menjadi ulama yang diakui keilmuannya. Semenjak itu, selain untuk transfer keilmuan, lingkup diskusi ini juga yang menjadi sarana untuk melawan kolonialisme. Dari sini, berbicara NU di Gombong, tidak bisa dipisahkan dari patriotisme pesantren.

TENTANG SEJARAH GOMBONG (KEBUMEN BARAT)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah).
Dalam rekam sejarah, Gombong pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, Mataram Dieng, Majapahit, Demak Bintara, Pajang hingga Mataram Islam. Pasca perjanjian Giyanti yang memisahkan Mataram menjadi dua: Kasunanan dan Kasultanan, Gombong menjadi tempat kompromi keduanya meski secara de jure menjadi bagian dari Kasunanan Pakualaman.
Islamisasi daerah ini secara runtut diprakarsai oleh Syekh Syamsuddin al-Baqir al-Farsi atau Syekh Subakir pra Demak Bintara, Kanjeng Sunan Kalijaga dalam masa Demak Bintara, Mbah Wagerglagah masa Kerajaan Pajang, lalu dikembangkan secara masif oleh banyak pihak. Tersebutlah Kyai Syafi'i (1829) keturunan dari Panembahan Wagerglagah Kedungwringin, Sempor dan Syekh Abdurrouf Suryanegara keturunan dari Syekh Anom Sidakarsa Petanahan.
Kyai Syafi'i ini yang kemudian menjadi adik ipar Pangeran Diponegoro. Kyai Syafi'i menjadi badal atau pengganti Kyai Mojo sebagai penasehat Sang Pangeran setelah Kyai Mojo tertangkap. Sultan Hamengkubuono II memanggil ayah dari Kyai Syafi'i yang bernama Kyai Syahabudin untuk menuliskan al-Quran. Namun karena usianya yang sudah udzur, maka tugas itu diserahkan kepada Kyai Syafi'i. Sultan Hamengkubuono II sangat senang dengan hasil kerja Kyai Syafi'i kemudian sering berdiskusi soal agama dengan Kyai Syafi'i lantas dinikahkanlah Kyai Syafi'i ini dengan adik dari Pangeran Diponegoro.
Syekh Abdurrouf Suryanegara dalam cerita keluarga, memang tidak tersebut kisah sebagai pasukan dari Sang Pangeran. Meski demikian kisah heroik patriotismenya tetap ada. Syekh Abdurrouf ini adalah buyut dari Syekh Anom Sidakarsa Petanahan. Alkisah waktu itu Syekh Abdurrouf yang bernama asli Suryanegara bergelar tumenggung, bersama Tumenggung Nuryawikrama yang masih tinggal di lingkungan keraton Mataram berdua mengaji ke Demak. Disana keduanya memperoleh pemahaman:
الدنيا ملعونة ملعون ما فيها
"Dunia itu rusak (karena terlaknat), dan seluruh yang ada di dalamnya pun pasti binasa."
Sepulang dari Demak, keduanya menyerahkan gelar bangsawannya kepada Keraton, lalu mengembara. Pertama mengembara ke Ujung Kulon. Tidak terlalu lama kemudian pindah ke Pamijahan. Pun demikian tidak terlalu lama, merasa mendapat isyarat melalui kuwung (pelangi) kemudian mencari ujung dari kuwung itu dan singgahlah keduanya di dukuh Rolah, Sidoharum, Sempor. Disini, Syekh Abdurrouf menetap sedangkan Tumenggung Nuryawikrama melanjutkan kembali ke Mataram.
Rolah, menjadi tlatah perjuangan Syekh Abdurrouf Suryanegara hingga kemudian memiliki seorang putra bernama Muhtarom. Keduanya sebagaimana keturunan dari Wagerglagah yang mendiami Brangkal Kelapagada, selalu menjadi batu sandungan bagi Belanda. Syekh Abdurrouf bersama sang putra, selalu melawan apa yang menjadi kebijakan Belanda. Suatu ketika, terjadilah clash antara Tegalsari, Sidoharum melawan Belanda. Sebelum konflik berdarah terjadi, Syekh Abdurrouf memanggil rekan sejawatnya Tumenggung Nuryawikrama untuk membantu perjuangan.
Gaung bersambut. Ketiganya dengan gagah berani melawan Belanda di sebelah barat pasar Gombong. Dalam cerita itu, ketiganya membikin orang-orangan dari jerami (oman), dan menabur kacang hijau. Yang terjadi kemudian adalah Belanda melepaskan tembakan membati buta ke arah manusia palsu itu, dan ketiganya terutama Sang Putra, Muhtarom dengan sangat berani membunuh satu per satu kawanan tentara Belanda ini. Semakin sedikit saja jumlah tentara Belanda hingga akhirnya hanya tersisa satu yang ngumpet. Satu tentara Belanda ini mampu menembak salah satu kaki dari Tumenggung Nuryawikrama. Hingga kemudian satu tentara ini dibunuh oleh Muhtarom.
Dalam keadaan kaki tertembak dan ancaman pasukan tambahan bantuan dari Belanda, akhirnya ketiganya berlari ke arah barat. Sebelum berlari Tumenggung Nuryawikrama berujar melihat banyaknya tentara Belanda yang mati di daerah itu dengan kalimat: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki sebuten tlatah ruwet." (Krewed). Selain karena saking banyaknya tentara Belanda yang mati di daerah ini, juga karena merasa ruwet karena ia tertembak.
Ketiganya kemudian melarikan diri ke arah barat. Sampai di pertigaan Tumenggung Nuryawikrama mulai pincang karena peluru yang masuk di kaki. Berhenti sejenak kemudian berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Sangkal Putung."
Melanjutkan pelarian diri ke arah selatan, tak berapa lama karwna merasa kesakitan dan lelah, ketiganya berhenti sejenak dan Tumenggung Nuryawikrama duduk bersandar di bawah pohon kembali berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Semende." Semanda.
Merasa belum aman, ketiganya melanjutkan pelarian. Sampai pada sebuah hutan, ketiganya menemukan sungai. Tumenggung Nuryawikrama kembali berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Wanayasa." Wana bermakna hutan dan yasa berarti air/sungai.
Ketiganya melanjutkan perjalanan menyeberang sungai, lalu naik dan menemukan jalan setapak namun banyak anjingnya. Tumenggung Nuryawikrama lagi-lagi berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah iki diarani Margasana." Marga yang bermakna jalan dan sana yang berarti anjing. Hingga hari ini daerah ini masih banyak penduduk yang memelihara anjing.
Terus menjauh dari kejaran tentara Belanda, hingga akhirnya ketiganya berlari naik ke perbukitan dan Tumenggung Nuryawikrama merasa sedih, lalu tetesan air matanya yang jatuh ke tanah dan menghentakkan kakinya ke tanah itu kemudian secara ajaib mengeluarkan sumber air. Kembali Tumenggung Nuryawukrama berujar: "Sesuk nek ono rejaning jaman, tlatah uki diarani Banyumudal." Banyu adalah air, dan mudal= medal berarti keluar atau menyumber.
Ketiganya terus naik ke atas lalu menemukan jurang di bawah puncak bukit, lalu Tumenggung Nuryawikrama menyuruh sahabatnya Syeikh Abdurrouf Suryanegara bersama Sang Putra untuk kembali ke Tegalsari. Tempat singgah bertapa Tumenggung Nuryawikrama ini kemudian disebut oleh masyarakat dengan sebutan Tugu di perbukitan alas bosok sebelah barat daya Gombong. Hingga hari ini, beberapa orang di daerah Tugu masih meyakini bahwa Tumenggung Nuryawikrama masih hidup dengan nama populer Mbah Nurwis yang kesehariannya mencari rumput dan kayu bakar. Mbah Nuryawikrama ini juga yang berhasil merubah karakter ganas penduduk Petanahan Kebumen, menjadi terbuka dengan ajaran Islam.
ti be ccontinued..

TENTANG KOLONIALISME BELANDA

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah)
Belanda memiliki banyak cara untuk mengurangi perlawanan pribumi. Mulai dari bentrok fisik sebagaimana terekam dalam narasi sebelumnya seperti di bagian barat Gombong juga pertempuran di Kemit, juga melalui penjajahan mental. Yang pertama hari ini sudah 71 tahun lalu berakhir, namun model yang kedua ini hingga hari ini kita belum juga mampu keluar dari kungkungannya bahkan kita tidak menyadarinya. Banyak yang berujar seperti KH Nursodiq Abdurrahman, Ketua MUI Kabupaten Kebumen bahwa kolonialisme fisik memang terhenti sejak proklamasi, namun hingga hari ini pola fikir kita masih belum merdeka.!!
Baiklah. Begini kira-kira narasinya.
Satu-satunya elemen bangsa ini yang tidak pernah terjajah adalah pesantren. Bukan hanya tidak pernah terjajah, pesantren selalu saja menjadi kerikil tajam bagi Belanda untuk melancarkan segala kebijakan monopolinya. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa penyebab terjadinya Java Orloog adalah rencana Belanda yang mau menggusur makam leluhur Pangeran Diponegoro di Magelang karena akan dibikin jalan oleh Belanda dari Jogja hingga Semarang selain pengkaplingan tanah oleh Belanda yang sangat menyengsarakan rakyat. Pangeran Diponegoro adalah santri Syekh Tabrazani seorang mursyid thoriqot syatthoriyah yang berguru kepada Kyai Nur Iman saudara kandung Sultan Hamengkubuono I. Selain kisah heroik kyai Siradj, di Parakan Temanggung ada kyai Subhi (lahir 1850) yang menjadi markas penyepuhan bambu runcing untuk menjadi senjata yang dahsyat yang mampu mengalahkan berondongan senjata api milik Belanda. Penulis pernah bertemu dengan salah satu pelaku sejarah yang menggotong seungguk bambu runcing itu dari Sumpiuh hingga ke Temanggung untuk di doakan oleh Kyai Subhi. Mbah Abu Sareat namanya yang tinggal di Rowokele. Resolusi jihad itu menjadi penegas yang sangat tegas nasionalisme anti kolonial kaum santri terhadap penjajahan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang jauh lebih tua dibandingkan dangan sekolah. Pesantren di Nusantara pertama kali didirikan oleh Syekh Jamaluddin al-Husain al-Kabir yang lebih tenar dengan sebutan Syekh Jumadil Kubro. Dari sini kemudian sebagian besar walisongo juha ikut mendirikan pesantren. Pendidikan yang fokus pada kajian agama yang kemudian melahirkan sistem tulis pegon atau arab-melayu. Sistem pendidikan ini terus dianjutkan dan dikembangkan oleh para murid walisongo hingga hari ini. Dari sini saya ingin berkata bahwa, sebelum bangsa ini mengenal sistem huruf alphabet, kita sudah lebih dulu mengenal minimal tiga sistem huruf: honocoroko, arab/hijaiyyah dan pegon.
Di sinilah terlihat kelicikan Belanda. Untuk mengurangi perlawanan pribumi yang diinisiasi oleh santri, maka Belanda mulai berfikir dan membuat sekolahan. Sebagaimana dituturkan oleh Agus Sunyoto bahwa awal Belanda mengenalkan sekolah kepada bangsa ini adalah dengan iming-iming modernitas. Ada sistem bangku, seragam, ijazah dan orientasi kerja, siapa yanag mau sekolah maka gratis dan selulus dari sekolah maka dia akan dijadikan pegawai negeri sipil (ambtenaar).
Selain itu, untuk meredam bahkan menghilangkan perlawanan pribumi, cara yang ditempuh oleh Belanda adalah membikin pecinan. Gaya hidup atau karakter bawaan orang Cina yang materialistis pragmatis dimana asal untung maka diam sudah ditambah dengan kekuatan ekonomi maka sangt menguntungkan Belanda. Ini sama sekali bukan diskriminasi etnis, ini hanya berusaha membaca gejala sosial. Kita bisa membandingkan dengan daerah manapun. Ada semacam rumusan, dimana Belanda menguasai suatu wilayah, disitu ada pecinan. Dimana ada pecinan, disitu ada perjudian dan prostitusi. Kita lihat misalnya Glodok dan Sawah Besar Jakarta, Benteng Tangerang dan lain-lain dan yang paling nyata adalah Gombong sendiri.
Tentu sekali lagi saya sampaikan bahwa inilah kelicikan Belanda yang kalau tidak hati-hati membacanya, maka kita akan terjebak pada sikap diskriminatif terhadap etnis tertentu dan kita akan selalu gagal memahami apa yang sudah berhasil diperjuangkan oleh Gus Dur.
Satu lagi analisa bahwa salah satu cara Belanda menghilangkan perlawanan pribumi yang didominasi oleh kalangan pesantren, Belanda masuk pada sistem Islam itu sendiri. Bukankah sudah popular slogan strategi: "Ketika Engkau ingin merusak sistem, maka masuklah menjadi bagian dari sistem itu.!". Dan ini yang juga dilakukan oleh Belanda untuk menumpas perjuangan melawan kolonialisme baik model lama maupun model baru. Bagaimana caranya?
Memasukkan Muhammadiyah..
Hahahaha.... sabar. To be continued..

Lanjutan coretan Susur NU Gombong (Kebumen Barat)

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah)
Seusai perjuangan fisik yang begitu heroik dari santri Diponegoro yang muncul dari dua titik krusial di Gombong yaitu Brangkal dan Tegalsari, perjuangan melestarikan dan menjaga tanggung jawab keagamaan ala Nahdliyah tetap dilanjutkan oleh keturunan-keturunan dua titik kumpul santri ini. Tersebutlah orang tua dari Gus Anam Leher Cilacap, Wan Hasan Purworejo, KH Hasan Maskur Kuwarasan, KH. Ja'far Sodiq Sumpiuh, KH Bisri Mustofa Sikeris Tambak, Mbah Ngisomudin Kemukus Gombong, KH Umar Nasir Candisari Karanganyar dan lain sebagainya tetap setia untuk mempertahankan dan melanjutkan perjuangan menjaga ideologi dan amaliyah ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah. Berikut juga beberapa kyai yang menjadi poros di berbagai sudut wilayah Kebumen Barat.
Kemunculan Muhammadiyah di Gombong meskipun di beberapa bagian mampu menyita perhatian dan menyulut konflik kecil, namun berkat konsistensi kyai-kyai ini, aroma ideologi dan pergerakan ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah tetap bisa bertahan seiring berjalannya waktu. Setiap kita tentu masih kuat mengingat betapa asyik masyuk dulu saat anak-anak diajarkan oleh kyai-kyai kampung tentang bagaimana cara berwudlu, cara shalat ala madzhab al-Imam as-Syafi'i dengan doa iftitah kabiro, doa qunut dalam shalat subuh, berbagai bacaan dzikir dan wirid, sholawat menjelang shalat berjamaah, pengajian umum rutinan baik harian, mingguan, lapananan, berikut juga pengajian akbar momentum hari besar Islam yang biasa kita kenal dengan sebutan 'rajaban' dan atau 'muludan' dan di beberapa titik ada pengajian haul kyai tarekat. Sekian banyak hal yg tersebut di atas, adalah pergerakan ideologi ala ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah agar kita memahami bahwa keislaman kita di dunia bukan tanpa peran orang tua kita terdahulu. Hanya saja kita sering kali acuh dan tidak pernah mau untuk memahami sekian banyak kebaikan yang ternyata adalah perjuangan tanpa lelah dari para pendahulu kita.
Sebut saja di Gombong. Dari empat belas desa dan kelurahan yang ada di kecamatan ini, era pasca kemerdekaan sudah ada jaringan kyai yang bisa dikatakan satu jalur keturunan. Desa Semondo masih dalam lingkaran area dakwah Tegalsari, Kalitengah ada nama Mbah Muhammad Dahlan, Mbah Ngisomudin dan Mbah Daldiri Kemukus-Banjarsari, Mbah Abdullah Mughni Wero, Mbah Zahro Srampadan, Mbah Ridwan Kedungpuji dan sisanya adalah area dakwah keturunan Brangkal. Bahkan yang fenomenal adalah Mbah Jamprong yang sebagian masyarakat mengakui kewaliannya.
to be continued..

CORETAN SUSUR NU GOMBONG (KEBUMEN BARAT), eps. BRANGKAL

Menurut ngendika dari Gus Novianto Said Dahlan (Kali Tengah), Brangkal yang usianya lebih tua dari Gombong sebagai nama dari satu wilayah memiliki sejarah perjuangan ala pesantren untuk meneruskan proses islamisasi daerah kabupaten Kebumen bagian barat. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, daerah ini melahirkan Kyai Siradj(1920). Seorang kyai keturunan dari Kyai Syafi'i yang informasinya sudah kita sampaikan meski hanya sedikit. Kyai Siraj dalam memori kebanyakan pemerhati sejarah perjuangan pesantren seperti Ahmad Baso sebagaimana disampaikannya ketika membedah buku Agama NU untuk NKRI, populer dengan karakter radikal. Radikal dalam konotasi positif dan pada tempatnya, tidak seperti kesan kuat yang kita dapatkan dari kelompok radikal belakangan ini. Mbah Siraj memiliki slogan "Sama Rata Sama Rasa" untuk melawan Belanda yang benteng pertahanan keduanya berjarak tidak kurang dari satu kilometer saja. Slogan perjuangan yang kemudian dicopy-paste secara serampangan oleh PKI. Bayangkan betapa pemberaninya trah Brangkal ini hingga Mbah Siradj tercatat oleh Belanda sebagai pemberontak nomor wahid untuk dihabisi.
Rolah dan Tegalsari Sdoharum kecamatan Sempor-pun tidak jauh berbeda dalam sikap anti-nya terhadap kolonoalisme. Hanya saja, berbeda dengan trah Brangkal yang lebih dekat dengan ariatokrasi Mataram, trah Rolah Tegalsari lebih concern kepada penjagaan dan pengembangan pesantren terutama dunia thoriqot (Syathoriyyah). Ini bisa dilihat dari banyaknya pesantren dan kyai sekitaran Kebumen bagian barat yang memiliki nasab kepada trah ini dan masing-masing memiliki murid atau santri thoriqot seperti KH. Hasan Masykur Al-Aziz Gandusari Kuwarasan, KH Ja'far Sodiq Bogangin Sumpiuh Banyumas, Haji Umar Nasir (almarhum) Candi Karanganyar, KH. Bisri Sikeris dan lain-lain.
Dalam catatan beberapa pihak melalui budaya tutur menyebutkan bahwa Gombong adalah kota yang dinisbatkan kepada nama orang. Tersebutlah Kyai Giyombong yang konon salah satu prajurit Pangeran Diponegoro asal Banyumas yang kemudian hijrah ke daerah ini lalu menjadi nama daerah. Kalau memang ini diakui sebagai sebuah kekayaan sejarah dan budaya, maka semakin jelaslah bahwa Gombong memang kota kecil yang dikreasi oleh Belanda. Setahu penulis hanya kota Jakarta yang nama kotanya adalah nisbat kepada nama tokoh, dan Jakarta adalah kota bikinan Belanda. Lihatlah juga tata kota yang jauh berbeda dengan kecamatan sebelah timurnya Karangayar misalnya tentu akan sangat berbeda. Gombong memiliki banyak gereja, gedung sekolahan bikinan Belanda, makam Belanda, pecinan, rumah sakit dan situs sejarah lainnya.
Dari sini kemudian nalar santri dan darah pejuang yang sebelumnya dimiliki kuat oleh orang Gombong terkikis sedikit demi sedikit oleh kolonialisme. Hari ini Gombong sama sekali terkenal bukan sebagai daerah santri, namun lebih popular dengan kota kecil sejuta kesenangan. Kota judi, kota prostitusi dan kota yang kehilangan jati diri. Itulah faktanya disamping pola fikir mansianya yang hedonis pragmatis.
to be continued..

TENTANG KIRAB SANTRI DIPONEGORO KEMARIN

Gus Muwafiq,Selalu punya energi untuk membangkitkan semangat mikir dan bergerak benar.
Dia turun dari mobilnya ketika arak-arakan Kirab Santri Diponegoro yang di tengah jalan diguyur hujan lebat!! nyeker.!! Sedikitpun tak pernah lelah untuk memantik cinta kepada ulama kepada bangsa.
"Mutiara-nya NU" penghargaan Habib Luthfi bin Yahya untuknya. Allah yahfadh..
Gombong,, TERSENYUMLAH..!!

Senin, 14 November 2016


Djarot: Jangan Anggap Remeh Dunia Pesantren




       
 Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, melakukan ziarah kebangsaan di Jawa Timur. Salah satu tujuannya yakni Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Djarot Juga memberikan motivasi kepada ratusan santri di Pesantren Sains (Trensains) Tebuireng. Di hadapan ratusan santri, Djarot berpesan, agar para santri tidak berkecil hati. Karena, para santri juga mampu berprestasi. 
“Pesantren sains atau trensains ini baru tiga tahun berdiri, namun sudah 46 prestasi diraih baik di tingkat regional maupun internasional, jadi jangan berkecil hati,” ujarnya disambut dengan tepukan tangan ratusan santri yang hadir, Jum’at (11/11/2016).
Djarot juga berpesan, agar masyarakat tidak mengangap remeh dunia pesantren. Karena dunia pesantren mampu mencetak orang-orang sukses dan mandiri. Konsep kemandirian dan kerja sama menjadi dasar pendidikan di pesantren.
“Kita sama-sama tahu di dunia pesantren ini lahirlah tokoh-tokoh besar nasional dan internasional, mulai dari KH. A. Wahid Hasyim, KH M. Hasyim Asyari serta beberapa ulama besar juga yang lahir di pesantren,” ujar kontestan yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama itu.
Untuk diketahui, selain ziarah di Ponpes Tebuireng, Djarot juga menziarahi makam Presiden RI pertama Soekarno di Blitar. Calon dengan nomor urut 2 itu, juga dijadwalkan berkunjung ke Malang dan Surabaya.

Senin, 07 November 2016

TENTANG PERISTIWA 4 NOVEMBER

Sunan Kalijaga Sunan-nya Nusantara: "Ojo Gumunan" (jangan sok penting) mau 4 Nov. "Ojo Getunan" (jangan pernah lelah) ogah 4 Nov. Ibarat sepakbola, 4 November besok mempertemukan dua klub kontroversial. Sebagai ujung tombak dua orang ini: Ahok vs Rizieq. Kedua suporter sudah sama-sama heboh. Saling olok, saling setan-menyetankan bahkan kafir-mengkafirkan. Yang luput dari perhatian adalah siapa peracik strategi keduanya, bahkan SIAPA PEMILIK KLUB kedua kubu karena mereka-lah yang sebenarnya punya kepentingan memperebutkan kue Ibu Pertiwi yang kami lihat "Air matanya berlinang.. Mas intan yang kau kenang.." Ibrahim as, Bapaknya Para Nabi-pun berdoa رب اجعل هذا بلدا آمنا . . Mari kita ikut hibur Ibu Pertiwi yang sedang berlinang air mata dengan Solawat Ibrahimiyah.. اللهم صل على سيدنا محمد و على آل سيدنا محمد كما صليت على سيدنا إبراهيم و على آل سيدنا إبراهيم و بارك على سيدنا محمد و على آل سيدنا محمد كما باركت على سيدنا إبراهيم و على آل سيدنا إبراهيم فى العالمين ربنا إنك حميد مجيد "JAYALAH NEGERIKU.!!

MASIH TENTANG TERJEMAHAN, PELAN-PELAN YAA....

Contoh terjemah itu meski benar tapi tidak menyeluruh: Ayat al-Maidah 51. Kata dalam al-Quran adalah "aulia ( أولياء )" yang selama ini diterjemahkan dengan kata "pemimpin". Memang tidak salah penerjemahan ini. Namun apakah kata "pemimpin" jika dibahasa-Arabkan akan selalu tepat jika menggunakan kata "aulia"?! Tentu tidak sepenuhnya tepat. Sebab kata Indonesia "pemimpin" jika dibahasa-arabkan bisa bermacam sesuai konsep dan konteksnya: - Ra'in ( كلكم راع و كل راع مسؤول عن رعيته ) - Sultan ( لا تنفدون إلا بسلطان ) - Kholifah - Imam - Rais Lalu kenapa kok kita ngotot memaksa satu dari sekian pilihan makna dari kata aulia?!! Bukankah kengototan kita itu justru bermakna bahwa kita mensejajarkan bahkan menganggap bahwa tafsir itulah al-Quran?!! Kalau sudah begitu berarti kita mempertuhan pemikiran penerjemah/penafsir? Coba pelan-pelan.. jangan marah ya..

HATI-HATI DENGAN TERJEMAHAN

(Lagi): pelan-pelan membacanya ya.. Kalau tidak selamanya terjemahan/tafsir tidak sepenuhnya benar apakah al-Quran tidak perlu diterjemahkan? Maka jawabannya: "tetap perlu.!" Bagaimana bisa al-Quran itu berbincang dengan manusia kebanyakan jika tidak dimengerti oleh pembacanya? Tetapi sebagus apapun tafsir/terjemahan itu, tetapkan posisinya sebagai kebenaran yang tidak pernah akan sepenuhnya sepadan dengan al-Quran itu sendiri. Sebagai contoh (lagi): a) إياك نعبد و إياك نستعين b) "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" Kalimat 'kami menyembah dan memohon pertolongan' pada b) tidak akan pernah sepadan dengan kalimat 'na'budu' ( نعبد ) dan 'nasta'in' pada a) Itulah kenapa para pakar tafsir ketika berhenti menafsirkan al-Quran akan selalu menutupnya dengan kalimat: و الله أعلم بالصواب / و الله أعلم بمراده "Allah-lah yang paling mengetahui" Artinya, sebaik apapun tafsir dan terjemah tetap disadari oleh penafsir/penerjemah akan sisi kekurangannya. Nah, dari sini sebaiknya kita juga bersikap sama dengan para penafsir/penerjemah. Terlebih kita hanya sebagai pembaca tulisan pikiran penafsir/penerjemah. Jangan sampai kita lebih bersemangat dari penafsir/penerjemah hingga mengatakan: -"al-Quran mengatakan seperti ini.!!" sambil melotot-melotot (padahal yang dibaca itu terjemahannya/tafsirnya) - Lalu menuduh orang menistakan al-Quran - Lalu mengajak orang lain yang juga gak faham untuk ikut-ikutan - Lalu dia berandai kemarahannya juga jadi marahnya Allah - Lalu bersemangat untuk membenci bahkan membunuh orang lain dengan membawa nama Allah. - Lalu menuduh orang yang tidak sepaham sebagai munafik yang keislamannya dipertanyakan. Lihatlah betapa terjemahan jika kita tidak slow memahaminya, maka bisa bikin kita jadi pemarah.! Pelan-pelan ya.. jangan emosi..